Nila menjadi salah satu komoditas perikanan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat saat ini. Susanto salah satunya. Pembudidaya nila asal Sleman, DIY ini memilih membudidayakan ikan air tawar tersebut sebab perawatannya yang praktis dan punya nilai jual tinggi.
Ikan nila termasuk mudah untuk dibudidayakan sebab risiko kematiannya kecil. Selain itu, pengelolaan kolam-kolam budidaya nila tidak membutuhkan banyak pekerja, sehingga bisa dilakoni secara mandiri.
“Tertarik budidaya nila karena praktis. Kemudian risikonya tidak terlalu besar, tenaganya juga enggak begitu banyak. Itu poin utama dari budidaya ikan disini. Ikan nila paling gampang untuk dibudidayakan karena risiko kematiannya kecil,” ujar Susanto.
Susanto menekuni budidaya nila sejak 1998 bersama tujuh rekannya yang tergabung dalam Kelompok Budidaya Mina Taruna Garongan. Lantaran fokus dan tak kenal menyerah, usaha mereka berhasil berkembang. Kolam yang tadinya hanya delapan menjelma menjadi 104 titik. Begitupun dengan anggota kelompok budidaya bertambah menjadi 29 orang.
Untung yang didapat menjadi pembudidaya terbilang tinggi. Dari setiap panen, Susanto bisa mengantongi Rp15 juta per kolam. Sedangkan anggota kelompok di rentang Rp5 juta sampai Rp8 juta.
Hantaman pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 diakui Susanto sempat mempengaruhi usaha nila konsumsi yang dilakoni. Ancaman naiknya harga pakan hingga hasil panen yang tak terserap, sempat membuatnya khawatir. Namun kekhawatiran itu berangsur-angsur hilang seiring permintaan yang terus datang dan harga pakan yang ternyata stabil.
“Ikan nila produksi kami sudah dipasarkan di berbagai tempat, baik secara eceran maupun skala besar. Pasarnya meliputi berbagai daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah,” akunya.
Inovasi dan teknologi diakuinya sebagai unsur yang tidak bisa dipisahkan untuk memperoleh hasil panen yang maksimal dan bermutu. Berbekal pengalaman berimprovisasi, akhirnya Susanto menemukan sistem penggunaan kincir untuk meningkatkan produksi nilanya. Teknologi kincir itu dinamai “sibudidikucir”.
“Saya banyak dibantu oleh pemerintah seperti pembinaan, pendampingan, dan berbagai bentuk bantuan seperti kincir, bantuan induk, dan pelatihan. Saya berharap dukungan ini terus berlanjut,” pungkasnya.
Pengembangan perikanan budidaya dalam negeri memang tengah digenjot pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut potensi lahan budidaya di Indonesia masih sangat luas, baik untuk komoditas air tawar, payau, juga laut. Kemudian trend konsumsi hasil perikanan meningkat dari tahun ke tahun sehingga sub sektor ini menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi.
Sejumlah program pun sudah disusun KKP untuk pengembangan perikanan budidaya ini. Diantaranya pembangunan kampung-kampung budidaya, seperti Kampung Lele, Udang, Patin, hingga Kampung Kerapu yang prosesnya akan melibatkan elemen masyarakat dan pemerintah daerah. Ada juga program Millenial Shrimp Farm (MSF) atau tambak udang milenial yang pengelolaannya sebagian besar menggunakan teknologi.
MSF sangat cocok untuk anak muda yang ingin berwirausaha. “Kita ajak mahasiswa, anak-anak muda kita jadi pengusaha muda di sektor kelautan dan perikanan,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Ternggono belum lama ini.
Untuk mendorong anak muda menjadi pelaku usaha, KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) menerapkan strategi pendidikan dengan melaksanakan program kewirausahaan yang terstruktur dari semester awal sampai akhir di seluruh satuan pendidikan di bawah naungan KKP. Terbaru, KKP meresmikan Pusat Inkubasi Bisnis (Business Incubation Center) di Politeknik Ahli Usaha Perikanan (AUP) untuk memperkuat program kewirausahaan yang ada.
Program kewirausahaan ini bertujuan memberi bekal kepada peserta didik agar dapat memahami konsep kewirausahaan, memiliki karakter wirausaha, mampu memanfaatkan peluang, dan mendapatkan pengalaman langsung berwirausaha, serta terbentuknya lingkungan sekolah yang berwawasan kewirausahaan.
Sudah banyak hasil dari program kewirausahaan yang digagas BRSDM KKP. Belum lama ini, peserta didik melakukan panen 3 ton udang vaname di Tambak Budidaya Udang Skala Mini Empang Plastik (Busmetik) Politeknik AUP Kampus Serang dengan masa pemeliharaan 100 hari.
Sementara itu, berdasarkan data nilai produksi perikanan budidaya tahun 2018, nila lebih dari Rp21 triliun; lele mencapai Rp17 triliun; kerapu sekitar Rp851 miliar; dan udang vaname mencapai Rp41 triliun. Angka tersebut baru dihitung dari 10 sentra produksi masing-masing komoditas yang tersebar di seluruh Indonesia.(SP-KKP)