Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi
Presiden Joko Widodo baru saja mengeluarkan sikap bahwa seluruh pegawai KPK yang dikatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian. Selain itu, Presiden juga menyitir pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa proses pengalihan status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara tidak boleh merugikan hak-hak pegawai. Pesan ini semakin menegaskan bahwa TWK ini hanya dijadikan alat oleh Firli Bahuri untuk menyingkirkan punggawa-punggawa KPK. Sehingga dapat dikatakan kesimpulan atau hasil tes tersebut sejak awal sudah disusun secara sistematis sebelum hasil sebenarnya resmi dikeluarkan.
Berangkat dari hal di atas, maka menarik untuk menelisik lebih lanjut siapa saja orang-orang yang dinyatakan TMS? Apa alasan yang mendasari ketidaklulusan itu?
Mulai hari ini Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi akan mengeluarkan secara bertahap rahasia di balik ketidaklulusan tersebut.
Sejak awal telah disampaikan bahwa TWK ini melanggar hukum dan bertentangan dengan etika publik. Betapa tidak, konsep itu tidak diatur dalam UU KPK baru dan peraturan turunannya (Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020. Namun, Ketua KPK tetap melanggar dengan menyelundupkan TWK dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021. Ini mengartikan Firli Bahuri bersama dengan Pimpinan KPK lainnya telah melampaui wewenang dan bertindak di luar batasan hukum.
Selain itu, publik juga mendengar selama ini bahwa alasan yang diutarakan perihal ketidaklulusan dikaitkan dengan sikap radikalisme sejumlah pegawai KPK. Hal itu sejalan dengan narasi hoaks seperti ‘kadrun’ dan ‘taliban’ yang selalu dialamatkan kepada Wadah Pegawai KPK. Padahal, keberadaan WP KPK ini penting untuk menjaga implementasi Pasal 5 UU KPK perihal asas keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum. Bahkan, WP KPK selama ini telah menghidupkan nilai-nilai demokrasi dalam lembaga antirasuah itu dengan secara aktif menolak berbagai pelemahan pemberantasan korupsi.
Namun alih-alih fakta itu dicerna dan dipahami, para pendengung atau buzzer tetap bertahan dengan narasi usang dengan tuduhan yang tidak masuk akal. Padahal, salah seorang pegawai yang dikatakan TMS adalah anggota Gusdurian dan sejumlah lainnya beragama Kristen, bahkan diketahui merupakan pendiri Oikumene KPK.
Maka dari itu kami menemukan fakta bahwa 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS ternyata pernah beririsan dengan Firli Bahuri. Berikut penjelasannya:
- Pernah memeriksa pelanggaran etik Firli Bahuri tatkala yang bersangkutan diketahui bertemu dan menjalin komunikasi dengan seorang kepala daerah di Nusa Tenggara Barat. Namun, belum sampai diputus, Firli Bahuri langsung ditarik kembali ke instansi asalnya;
- Pernah menandatangani petisi menolak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK karena sejumlah permasalahan atau memiliki rekam jejak bermasalah;
- Pernah melakukan advokasi saat proses pemilihan Pimpinan KPK. Kala itu sejumlah pegawai mendesak agar Panitia Seleksi Pimpinan KPK tidak meloloskan calon Pimpinan KPK yang tidak taat melaporkan harta kekayaan (LHKPN) dan sempat melanggar kode etik;
- Pernah melakukan aksi damai menolak calon pimpinan pelanggar etik;
Berdasarkan narasi di atas terlihat jelas bahwa TWK hanya dijadikan dalih untuk menutupi motivasi kepentingan pribadi Firli Bahuri. Mesti dipahami bahwa Indonesia adalah negara hukum yang dibangun atas kepentingan rakyat, bukan segelintir orang, apalagi dengan cara-cara kotor dan melanggar etika serta akal sehat. Oleh karena itu kami meminta agar:
- Seluruh Pimpinan KPK mematuhi perintah Presiden Joko Widodo dengan menganulir keputusan memberhentikan 75 pegawai KPK;
- Dewan Pengawas segera mengambil langkah konkret dengan memanggil, memeriksa, dan menjatuhkan pelanggaran etik berat kepada Firli Bahuri;
Indonesia, 17 Mei 2021