Jalan Tambang, Upaya Mengenjot Ekonomi Sumsel dan Jambi

417

Bagi Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi batu bara tak ubahnya motor penggerak bagi perekonomian masyarakat.  Manfaat tersebut dapat berupa PDB, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja. Kegiatan pertambangan batu bara juga berperan dalam hal penerimaan negara berupa berbagai jenis pajak, royalti dan restribusi.

Bahkan di tengah pagebluk yang diakibatkan oleh virus Covid-19, menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tidak ada perusahaan pertambangan batu bara dan mineral yang melakukan PHK.

Kondisi saat ini tentu saja sangat berat bagi perusahaan pertambangan mineral dan batu bara. Ini tergambar dari target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba yang tahun ini diprediksi akan turun dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai Rp 45 triliun atau akan menjadi sekitar Rp39,10 triliun. Adapun kontribusi penghasil PNBP terbesar masih dipegang oleh perusahaan tambang batu bara.

Sayangnya, meski punya andil besar bagi perekonomian, saat ini perusahaan batu bara di Sumsel dan Jambi mengalami hambatan dalam melakukan pengiriman dari lokasi tambang ke stockpile (tempat penyimpanan, pengolahan, pelabuhan).

Sejak berlakunya Peraturan Daerah (Perda) Nomer 5 Tahun 2011 di Sumsel dan Perda Nomer 13 Tahun 2012 di Jambi, pelaku usaha batu bara tak lagi leluasa melintas di jalan umum. Mobilisasi truk pengangkut melalui jalan umum telah menimbulkan kerusakan di sepanjang ruas jalan yang dilalui. Kondisi ini tentu mengakibatkan kerugian finansial bagi pemda untuk membenahi jalan yang rusak.

Selain itu, jalur tersebut juga rawan kecelakaan. Sedikitnya dalam lima tahun terakhir 35 orang meninggal dalam kecelakaan yang melibatkan angkutan batu bara di Kabupaten Bungo, Sarolangun, Batanghari, Kota Jambi dan Muaro Jambi. Belum lagi dengan masalah polusi udara dan kemacetan panjang akibat truk berhenti menunggu jadwal pemberangkatan.

Betul, Pemda Sumsel dan Jambi telah memberikan jalur alternatif untuk menyalurkan batu bara menuju stockpile. Yang jadi masalah, jarak yang harus ditempuh mencapai ratusan kilometer. Tak sedikit perusahaan batu bara yang menghabiskan waktu tiga hari untuk mengantarkan produknya ke pelabuhan. Maklum jalur yang harus dilalui terlalu sempit, kondisinya pun sangat buruk. Padahal jika infrastruktur dibenahi jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mengantarkan batu bara maupun hasil bumi lainnnya, seperti kelapa sawit akan tuntas dalam hitungan jam.

Berita Lainnya  Benci tapi Rindu Mutiara Hitam

Dengan memangkas jarak, kapasitas angkut jalan ini juga ditaksir meningkat tiga kali lipat dari kapasitas jalan lama, yakni mencapai 10 juta ton batu bara per tahun.

Atas dasar itu, PT Marga Bara Jaya (MBJ) mengajukan permohonan pinjam pakai kawasan hutan seluas 424,41 hektare di wilayah hutan produksi di Kabupaten Musi Rawas Utara dan Musi Banyuasin, di Provinsi Sumsel dan Jambi.

Rapat Komisi Amdal Pusat pada 20 Februari 2019 merekomendasikan tiga alternatif jalan tambang ke Bayung Lencir. Lokasi Hutan Harapan menjadi salah satu alternatif. Kontur batas Hutan Harapan serta areal di luar hutan restorasi yang melewati kawasan hutan tanaman industri menjadi alternatif lainnya.

Gayung pun bersambut. Atas rekomendasi Komisi Amdal Pusat, Menteri Lingkungan Hidup (LKH) dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) LKH Nomor P/7/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2019 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Permen baru yang mengganti Permen LHK Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.I/7/2018 itu sebetulnya tidak ada yang diubah. Namun ada penambahan pada pasal 12 ayat 1 huruf C, yang sebelumnya tidak ada. Pasal baru ini memuat pengecualian terhadap permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kegiatan jalan angkut produksi pertambangan.

Singkat kata, Menteri LHK mengabulkan permohonan PT MBJ. 

Permen LHK anyar ini rupanya memantik kontroversi. Puluhan organisasi masyarakat sipil di Jambi dan Sumsel menolak jalan angkut batu bara yang membelah Hutan Harapan. Mereka menuntut MBJ mengubah jalur jalan ke luar Hutan Harapan atau memanfaatkan jalur eksisting.

Koalisi tersebut menilai jalan angkut batu bara mengancam pemulihan hutan yang dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) yang sudah berlangsung 10 tahun terakhir. Ancaman itu berupa fragmentasi hutan dan deforestasi, mengganggu habitat kehidupan satwa liar serta keragaman hayati hutan dataran rendah Sumatera. Pembukaan hutan juga ditengarai memberi   akses baru bagi perambah hutan hingga mempertiggi tekanan terhadap kawasan. 

Berita Lainnya  PLN Berhasil Listriki Pulau Messa

Benarkah demikian? Menurut penelusuran Aksenta, konsultan lingkungan hidup, rencana jalan angkutan PT MBJ di dalam areal konsesi PT REKI berada di wilayah yang telah mengalami gangguan berat, baik akibat aktivitas manusia (pembalakan kayu, pembukaan untuk lahan garapan) maupun akibat faktor alam (kebakaran hutan dan lahan).

Dalam kurun 12 tahun (2008-2020), lanskap di wilayah ini, yang sebelumnya didominasi belukar tua dan hutan sekunder telah berubah menjadi wilayah yang didominasi belukar, belukar tua, dan semak. Luas hutan sekunder dan belukar tua mengalami penyusutan sangat signifikan serta luas lahan terbuka dan semak meningkat cukup pesat.   

Di wilayah ini, tidak dijumpai lagi hutan primer. Tutupan lahan di dalam konsesi PT REKI yang akan dibuka dan dibangun menjadi jalan angkutan PT MBJ didominasi oleh semak, belukar, dan belukar tua, yang mencakup 72,9% dari luas keseluruhan areal yang akan dibuka dan dibangun (207,9 ha).

Hutan hanya mencakup 3,7% dari luas areal yang akan dibuka dan dibangun menjadi jalan angkutan PT MBJ.  Di ruas jalan yang terletak di bagian barat, masih dijumpai hutan sekunder terdegradasi dan belukar. Di ruas yang terletak di bagian timur, sudah tidak dijumpai lagi hutan maupun belukar. Seluruh lahan di wilayah ini sudah berubah menjadi lahan garapan.

Keberadaan Suku Anak Dalam Batin Sembilan

Di areal rencana pembangunan dan pengelolaan jalan angkutan PT MBJ tersebut memang bermukim komunitas SAD Batin Sembilan. Komunitas ini hidup secara berkelompok. Dan komunitas di wilayah ini tidak lagi mempraktikkan pola hidup berpindah (nomaden) namun sudah berpola hidup menetap dan membudidayakan tanaman pertanian dan perkebunan sebagaimana masyarakat desa lainnya.

Berita Lainnya  Kepala Daerah Harus Rutin Cek Harga Komoditas di Pasar

Jalur jalan angkutan di dalam konsesi PT REKI yang akan dibangun dan dikelola oleh PT MBJ akan melintasi wilayah jelajah dari 4 (empat) kelompok Batin Sembilan.  Jalur jalan ini akan melintasi sebagian kecil lahan garapan kelompok Batin Sembilan tetapi tidak melintasi wilayah pemukiman komunitas itu maupun masyarakat desa lainnya.

Menyikapi rencana proyek pembangunan jalan tersebut, Komunitas Batin Sembilan dan masyarakat lainnya yang berada di dalam konsesi PT REKI, termasuk yang lahannya akan dilintasi jalan angkutan PT MBJ, tidak berkeberatan.

Mereka bahkan sudah mengetahui adanya kegiatan pemasangan patok pembangunan jalan di sekitar wilayahnya.  “Kami terbuka dengan adanya rencana pembangunan jalan tersebut, asalkan kami sebagai masyarakat diajak berdialog, diberikan sosialisasi yang jelas, agar kami mengetahui lebih jelas rencana tersebut,” tutur Burmawi, Pemangku SAD, Dusun 5 Desa Sako Suban.

Ia pun berharap jalan tersebut dapat digunakan oleh waraga setempat dan  masyarakat lain untuk memasarkan hasil-hasil pertanian. Penting untuk menjadi catatan,”Kami sudah terlalu sering diiming-imingi program bantuan oleh perusahaan-perusahaan namun hasilnya tidak ada. Jadi penting untuk dilakukan sosialisasi yang jelas agar kami mengetahui semuanya,” sahutnya.

Pendapat Burmawi diamini oleh Firdaus, Kepala Dusun 5 Desa Sako Suban. Ia juga berharap kejelasan terkait rencana pembangunan jalan tambang. “Jangan asal main gusur. Kami ingin agar seluruh masyarakat Dusun 5 diajak berdialog terkait rencana pembangunan jalan. Di mana lokasinya, bagaimana tahap pembangunannya, bagaimana jika ada lahan produktif kami yang terkena pembukaan jalan, dan lainnya.,” ujarnya.

Pada intinya, ia menambahkan, pihaknya terbuka terhadap segala kemungkinan jika itu memang untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. “Kami juga saat ini membudidayakan kelapa sawit, karet, buah-buahan, sehingga, dengan adanya jalan angkutan, kami mengharapkan hasil pertanian kami bisa didistribusi dengan baik ke kota,” demikian harapannya.