Jalan di Hutan, Mencegah Konflik Manusia dengan Harimau

1843

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki keaneragaman hayati yang tinggi. Di negeri ini berbagai jenis flora dan fauna endemik, yang hanya hidup di Indonesia, banyak dijumpai di hampir setiap daerah. Di Sumatera misalnya, masih dapat dijumpai  binatang khas Sumatera seperti harimau, gajah, beruang, babi hutan, dan sebagainya.

Pemanfaataan sumber daya alam, khususnya yang berada dalam habitat hidup hewan-hewan tersebut membuat konflik antara manusia dan satwa liar tak terhindari. Konflik antara manusia dengan harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae), pun masih sering terjadi.

Di Riau, selama Juli-Agustus 2021 konflik antara manusia dan harimau sumatera telah menyebabkan dua orang meninggal. Di Aceh, Agustus lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengabarkan, ada tiga ekor harimau sumatera ditemukan mati di Aceh. Diduga kuat hewan yang tergolong satwa langka dan dilindungi ini, mati akibat jerat atau perangkap yang dipasang pemburu liar. Harimau yang mati akibat jerat memang makin banyak. Buktinya, sepanjang Tahun 2020, ditemukan tak kurang dari 700 jerat harimau di kawasan hutan konservasi yang ada di Pulau Andalas.

Konflik antara manusia dengan gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) juga makin sering terjadi. Laporan yang disampaikan KLHK menyatakan selama 2015-2021 ada 528 kasus konflik antara manusia dan gajah di Aceh. Akibat konflik tersebut tak kurang dari 46 ekor gajah mati.

Begitu sering dan banyaknya kasus konflik antara manusia dan satwa liar yang dilindungi ini membuat banyak pihak khawatir jika kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di hutan malah akan meningkatkan jumlah konflik.  Konflik tersebut menyebabkan satwa liar yang dilindungi tersebut makin berkurang jumlahnya dan pada akhirnya punah.

Berita Lainnya  Potensi Batubara dan Pembangunan Infrastruktur

Kekhawatiran itu pun muncul saat ada rencana pembangunan infrastruktur untuk kegiatan tambang batubara di Hutan Harapan. Hutan yang berada di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan tergolong kawasan konservasi. Rencananya ground breaking pembangunan jalan tersebut akan diakukan dalam waktu tidak lama lagi. Seperti diketahui pembangunan jalan ini telah mendapat izin dari Kementerian LHK.

Panjang jalan angkutan yang akan dibangun oleh PT MBJ (Marga Bara Jaya) di dalam wilayah  Hutan Harapan mencapai 34,2 km, dengan lebar 60 m. Pembangunan jalan angkutan ini akan menciptakan ruang manfaat jalan (rumaja) seluas 207,9 Ha. Luasan ini sangat kecil bila dibandingkan total luas Hutan Harapan yang mencapai 98.555 Ha, atau hanya 0,21%.

Keberadaan jalan yang akan dibangun tersebut juga memiliki manfaat, khususnya bagi masyarakat sekitar. Jalan tersebut dapat meningkatkan kapasitas angkut menjadi 10 juta ton batu bara per tahun, tiga kali lipat kapasitas jalan lama. Jalan ini juga dipakai untuk mengangkut hasil perkebunan sebanyak 4 juta ton serta hasil hutan lain sebanyak 1 juta ton per tahun

Faktanya, jalur dari jalan ini tidak membelah atau berada di tengah-tengah hutan, tapi berada di wilayah pinggiran hutan. Di wilayah yang akan digunakan untuk jalan ini pun tidak dijumpai lagi hutan primer. Wilayah ini lebih banyak didominasi belukar, belukar tua, dan semak.

Menyerang saat habitat diganggu

Di Sumatera sendiri terdapat 12 kawasan konservasi (12 Tiger Conservation Landscape) yang ditetapkan menjadi habitat hidup alami dari harimau sumatera. Sang Raja Hutan dari Sumatera ini tidak dijumpai lagi di areal yang akan dibangun menjadi jalan ini. Lagi pula Hutan Harapan yang menjadi konsesi dari PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) memang tidak termasuk dalam 12 Tiger Conservation Landscape di Sumatera.  

Berita Lainnya  Pasca bencana Gempa Bumi NTB, 694 Fasilitas Umum Dibangun Kembali

Di areal yang akan dibuka dan dibangun menjadi jalan angkutan ini dijumpai dua jalur lintasan gajah Sumatera. Kedua jalur lintasan ini berpotensi bersilangan dengan jalur jalan angkutan. Namun harap dicatat, gajah-gajah yang melewati jalur ini bukanlah dari kelompok gajah liar, melainkan gajah-gajah hasil translokasi dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Jalan yang akan dibangun ini sebenarnya juga dapat berfungsi sebagai daerah penyangga, antara manusia dengan satwa liar seperti gajah dan harimau Sumatera. Sehingga keberadaan jalan ini malah berpotensi mencegah timbulnya konflik tersebut.

Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, pada 2019 menarik untuk dicermati. Konflik antara manusia dan satwa liar sering terjadi ketika manusia masuk ke dalam habitat satwa liar tersebut. Serangan hewan liar itu bisa dari harimau, buaya muara, babi hutan, beruang madu, gajah dan lainnya.

Serangan satwa liar seperti harimau terhadap manusia sebenarnya memiliki pola yang sama. Layaknya hewan liar, si belang hanya punya naluri untuk mempertahankan diri. Rata-rata korban yang tewas sedang berada di wilayah kawasan hutan lindung atau tempat-tempat khusus yang memang menjadi wilayah habitat sang raja rimba.

Biasanya hewan-hewan tersebut menyerang, karena merasa terusik dengan hadirnya manusia. Sehingga sebenarnya bukan satwa liar (harimau, gajah) yang menyerang, tapi manusia yang masuk, mengganggu habitat mereka.

Walaupun harimau sumatera disimpulkan tidak dijumpai lagi di areal yang akan dibangun menjadi jalan, serta hanya dijumpai dua lokasi yang menjadi titik perjumpaan dengan lintasan gajah sumatera, antisipasi tetap dilakukan. Jajaran perusahaan serta para kontraktor dan pemasoknya tetap mesti disiapkan untuk memiliki kemampuan mengelola kehadiran dari satwa liar khas Sumatera yang penting dan dilindungi ini

Berita Lainnya  Keren, Mahasiswa UNDIP Ajak Pembatik Mengenal Teknologi Digital

Keberadaan harimau sumatera dan gajah sumatera serta spesies satwa endemik, langka, terancam punah, dan dilindungi lainnya di wilayah ini tidak cukup dijadikan dasar untuk menyimpukan bahwa di wilayah ini merupakan daerah high conservation value (HCV). Sebab, kawasan tempat tersebut  bukan menjadi tempat terkonsentrasinya spesies satwa-satwa liar yang memiliki nilai penting bagi lingkungan dan kehidupan.

Keberadaan satwa liar yang hampir punah seperti harimau sumatera di habitat aslinya harus terus terjaga agar tetap lestari. Apa yang terjadi dengan harimau jawa (Panthera Tigris Sondaica) dan harimau bali (Panthera Tigris Balica) jangan sampai terulang. Keberadaan dua jenis harimau tersebut kini tinggal cerita, karena telah dinyatakan punah. Menjadi tugas kita bersama agar harimau sumatera tetap dapat mengaum di rumahnya sendiri.(GN)