Upaya pemerintah mengatasi kerusakan hutan layak diacungi jempol. Selama empat tahun berturut-turut hingga tahun 2020 Indonesia sukses menahan laju kehilangan hutan primer.
Data resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, kehilangan hutan bruto tahunan sebesar 119.000 hektare pada bulan Juni 2019-Juli 2020 dan penurunan sebesar 75% dari periode pelaporan 2018/2019 hingga 2019/2020.
Keberhasilan itu, antara lain, ditandai dengan moratorium lahan kelapa sawit dua tahun lampau.
Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur. Ini akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di Indonesia menurut perkiraan Bank Dunia antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya.
Dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging.
Ada pun luas pertambangan batu bara di Indonesia ini saat ini sekitar 5 juta hektare. Namun tidak semua berada di kawasan hutan. Sebagian beroperasi dalam lahan APL (Area Penggunaan Lain), serta beberapa tambang menggunakan metoda tambang terbuka.
Batubara berkontribusi besar bagi pembangkit listrik di Indonesia. Seringkali karena pasokan batubara tersendat, saluran listrik ikut terhambat. Gangguan demi gangguan pasokan batubara kerap menimbulkan pemadaman listrik di Jawa, Madura dan Bali.
Pasokan batubara yang lancar menjadi kunci bagi ketahanan enerji nasional. Namun ini tidak mudah. Di sejumlah provinsi penghasil batubara, kendaraan angkutan batubara dilarang melintas di jalan nasional. Jalur khusus yang diberikan tak banyak membantu dalam menyalurkan si emas hitam ke stockpile.
Salah satu perusahaan yang mengalami kesulitan itu adalah PT Marga Bara Jaya. Demi efisiensi, perusahaan yang beroperasi di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi mengajukan permohonan pembangunan jalan yang melintasi Hutan Harapan, saat ini dikelola oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia).
Berdasarkan kajian konsultan Aksenta, rencana pembangunan jalan di areal konsesi PT REKI telah mengalami gangguan berat, baik akibat aktivitas manusia (pembalakan liar, pembukaan lahan) maupun faktor alam (kebakaran hutan). Di lahan itu juga tak dijumpai lagi hutan primer. Dalam 12 tahun terakhir, lahan itu telah berubah menjadi wilayah yang didominasi belukar tua dan semak.
Panjang jalan yang akan dibangun PT MBJ di lahan konsesi PT REKI mencapai 34,2 km. dengan lebar 60 meter, pembangunan jalan angkutan ini akan menciptakan ruang manfaat jalan seluas 207,9 hektare. Sangat kecil dibanding luas konsesi PT REKI (98.555 hektare) atau hanya 0,21%.
Komunitas Batin Sembilan dan kelompok masyarakat lain di wilayah tersebut tidak keberatan dengan pembangunan jalan. Syaratnya, didahului dialog dan sosialisasi mengenai proyek tersebut. Mereka pun berharap infrastruktur ini dapat dimanfaatkan untuk mendistribusikan hasil bercocok tanam mereka ke tempat berjualan. Proyek ini dapat pula membuka lapangan pekerjaan pada jangka pendek, saat pembangunan dilaksanakan, dan dalam jangka panjang, kala jalan telah dioperasikan.
Pembangunan jalan yang juga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentu sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Artinya optimalisasi sumber daya alam harus berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.