Semua kebakaran hutan dan lahan sulit dijinakkan lantaran minimnya akses menuju hot spot. Tanpa akses memadai, bukan hanya kerugian material yang timbul, nyawa petugas di lapangan juga menjadi taruhan.
Musim kemarau segera tiba. Dan seperti biasa, kebakaran hutan dan lahan, populer dengan istilah karhutla, pun menjadi ancaman. Karhutla tak hanya membuat pening para pengusaha perkebunan dan pertambangan. Pemerintah dan masyarakat, bahkan penduduk di negeri jiran ikut mabuk didera asap.
Memang tak mudah menjinakkan karhutla. Si jago merah seolah sudah menjadi pelancong yang rutin berkunjung ke negeri ini. Berbanding terbalik dengan pelancong dari manca negara yang mudah menghamburkan dollar, kebakaran hutan sangat menguras rupiah. Menurut sebuah penelitian, nilai kerugian ekonomi secara total akibat karhutla mencapai Rp753 juta, dengan asumsi kurs dolar terhadap rupiah nilai Rp14.000, untuk setiap hektare lahan yang terbakar.Ironisnya pihak yang mengalami kerugian paling besar adalah masyarakat (sebesar 59%), kemudian perusahaan sebesar 29% dan pemerintah sebesar 14%.
Berdasarkan publikasi World Bank dengan judul Indonesia Economic Quarterly Reports (IEQ), kerugian Indonesia dari karhutla sepanjang 2019 mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp72,95 Triliun (kurs Rp 14.000). Penghitungan kerugian ekonomi oleh Bank Dunia ini berdasarkan kebakaran hutan masif terjadi di delapan provinsi, yakni, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, Kalimantan Timur dan Papua.
Sesungguhnya kerugian akibat karhutla bisa ditekan. Syaratnya akses menuju titik api harus tesedia. Minimnya jalan menuju hot spot bukan hanya menimbulkan kergian secara material, melainkan juga sangat mengancam jiwa anggota regu pemadam kebakaran. Seperti yang dialami oleh Ardi Nata Tarigan. Lelaki 26 tahun itu mempertaruhkan hidupnya saat terjebak di tengah karhutla yang melanda Desa Melibur, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Alkisah, pada pertengahan Juli dua tahu silam, ia bersama enam rekannnya berpatroli memantau karhutla menggunakan helikopter. Petang itu mereka menemukan titik api di Desa Melibur. Mereka lantas segera turun. Singkat cerita, api yang tidak merambat luas berhasil dipadamkan dalam tempo dua jam.
Cerita tak berhenti sampai di situ. Setelah si jago merah berhasil dijinakkan justru muncul ketegangan baru. Mereka tidak bisa menghubungi pusat komando karhutla di perusahaan untuk penjemputan. Mau telepon, tidak ada sinyal. “Kami lost contact, tidak bisa berbuat apa-apa,” tuturnya. Apa boleh buat, mereka terpaksa bermulam di hutan yang masih pekat oleh sisa pembakaran.
Khawatir akan nasib rekan-rekannnya di tengah hutan, satu regu pemadam kebakaran lainnya dikirim mencari mereka. Sayang, tidak adanya akses menuju lokasi mereka berstirahat, regu penyelamat yang menggunakan motor gagal melakukan penjemputan.
Setelah fajar menyingsing, salah seorang anggota regu berupaya memanjat pohon setinggi 10 Meter untuk mendapatkan sinyal. Berhasil. Mereka bisa menghubungi petugas di ruang komando untuk menjemput dengan helikopter.
Pengalaman betapa sulitnya menjangkau titik api tanpa adanya akses memadai juga dialami Satgas Gabungan Karhutla yang bertugas di Desa Sido Mukti, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Demi meluluhkan bara api yang berkecamuk dua tahun silam, para petugas berjibaku di lapangan nyaris tiga pekan. Maklum bara di lahan gambut memang sangat sulit ditaklukkan.
Tiadanya akses yang memadai, juga sumber air yang minim, membuat tim satgas yang terdiri dari personl TNI, Polri, BPBD, Damkar dan relawan, mebuat kanal cacing. Tujuannnya agar kebakaran tak meluas.
Pengalaman serupa juga dialami Tim Satgas Karhutla Pekanbaru yang bertugas di Kelurahan Air Hitam, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru. Kisah yang terjadi pada dua tahun lalu ini juga kesulitan menembus lokasi titik api yang bersemak tinggi dan tebal. Kesulitan menjangkan areal tersebut membuat kebakaran semakin meluas. Dari semula api merambah 10 hektar, meluas menjadi 15 hektar. Akibatnya api juga mengancam pemukiman warga. Maklum, pusat tutuk api tak jauh dari pusat Kota Pekanbaru. “Ada titik api yang tidak bisa kami padamkan, karena terkendala akses dan jaraknya cukup jauh,” ujar Koordinator Pencegahan Karhutla Manggala Agni Daops Pekanbaru, Gunawan.
Akan halnya kebakaran di Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu, Riau, yang terjadi awal Agustus tahun lalu, petugas juga terkendala akses menuju lokasi titik api. Lokasi kebakaran berada di areal perbukitan di perbatasan Desa Sei salak, Kecamatan Rambah Kecamatan Teluk Meranti, Kuala Kampar dan Pangkalan Kerinci, Samo, Rohul. Jaraknya berkisar 19 kikometer dari Markas Koramil 02/Rambah. Akses hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Ini menyebabkan petugas tidak bisa membawa peralatan pemadam. “Lokasi kebakaran berada di atas perbukitan. Akses ke sana sangatlah ekstrem,” tutur Sersan Kepala Sunardi, Babinsa Koramil 02/Rambah. Sudah begitu, sumber air sulit ditemukan.
Alhasil, pemadaman terpaksa dilakukan secara manual, menggunakan batang kayu. Bahwa api akhirnya bisa cepat dipadamkan, itu lantaran lahan yang terbakar merupakan tanah mineral, bukan gambut.
Pengalaman petugas pemadam karhutla di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, setali tiga uang. Meski berselang dua tahun dari kisah yang dialami dari para koleganya tadi, toh yang dihadapi mereka pada Februari tahun ini tak jauh berbeda: akses sulit dilalui. Tak heran jika titik api di Kecamatan Teluk Meranti, Kuala Kampar dan Pangkalan Kerinci, sangat sulit dijinakkan. Tiap kecamatan harus merelakan dua hektar lahannnya hangus.
Begitulah, akses menuju titik api adalah kunci bagi dalam pemadaman karhutla. “Tanpa akses semua upaya akan sia-sia, sekalipun memiliki operalatan yang memadai,” sahut Adi Wahyudi PT Marga Bara Jaya. Sebab, katanya menambahkan.” Rembetan api lebih cepat dibanding jalannnya peralatan pemadam tanpa akses memadai.” Berdasarkan pengalamannya, kendala akses membuat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi lebih panjang. “bisa memakan waktu tujuh jam,” paparnya.
Bayangkan berapa banyak waktu yang terbuang dan berapa hektar lahan yang hangus dalam kurun waktu tersebut.(Tim Socendev)