Siaran Pers
Pemberantasan korupsi sudah berada di titik nadir. KPK yang tugas utamanya memberantas korupsi tapi justru memproduksi banyak masalah dan seakan tidak kunjung henti. Lihat saja, mulai dari problematika revisi UU KPK, berbagai kontroversi kebijakan Pimpinan KPK periode 2019-2023 dan juga, kini, kebijakan Ketua KPK yang menurut media akan memberhentikan puluhan Insan terbaik KPK dengan alasan yang naif karena gagal melewati tes wawasan kebangsaan. Yang sangat menyesakkan dan membuat miris, sebagian besar insan pegawai yang diberhentikan adalah punggawa-punggawa KPK yang mempunyai rekam jejak luar biasa karena telah berhasil menangani perkara mega akbar skandal korupsi.
Ada fakta lainnya, Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir penyelamat KPK telah gagal menjalankan mandat utamanya sesuai pembukaan konstitusi karena telah membuat Putusan yang berlawanan dengan ekspektasi publik. Padahal, proses revisi UU KPK itu dilakukan tanpa melibatkan publik atau menihilkan nilai-nilai demokrasi dan menabrak regulasi pembentukan peraturan perundang-undangan serta tidak ditujukan untuk sepenuh-penuhnya untuk memberantas korupsi secara maksimal.
Delapan Hakim MK telah memilih jalan “seiring” dengan kebijakan Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI yang secara sengaja dan sepakat untuk meruntuhkan KPK. Hal lain, MK juga mengabaikan untuk melihat dan memahami kontes terkini, paska Transparency International melansir Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2020. Dalam indeks itu disebutkan, skor dan peringkat Indonesia merosot tajam. Fakta ini harus dimaknai sebagai suatu kegagalan politik hukum dalam upaya pemberantasan korupsi pemerintah yang memilih melemahkan, ketimbang memperkuat KPK.
Menyoal alih status kepegawaian, Ketua KPK telah gagal mengelola informasi terkait tes wawasan kebangsaan. Padahal, selaku Ketua KPK, Firli Bahuri wajib mematuhi aturan hukum dan putusan MK yang telah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri. Selain itu, yang terpenting juga perihal kepastian status dan independensi Pegawai KPK dalam melaksanakan tugas. Hal ini kami nilai sebagai penyiasatan hukum dari Ketua KPK yang sejak awal memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk “menyikirkan” para pegawai yang sedang menangani perkara besar yang melibatkan oknum-oknum yang kekuasaan. Tindakan di atas dapat dikualifikasi juga sebagai tindakan pelanggaran HAM.
Selain itu, ada banyak langkah keliru Ketua KPK yang keseluruhannya makin menambah catatan suram yang membuat runyam lembaga antirasuah di bawah kepimpinannya, sepeti misalnya antara lain: ketidakmauannya uantuk secara serius meringkus Harun Masiku, menghilangkan nama politisi dalam surat dakwaan korupsi bansos, melindungi saksi perkara benih lobster, menerbitkan SP3 untuk BLBI, dan berbagai kontroversi lain yang dapat menjatuhkan kewibawaan KPK. Berangkat dari hal tersebut, akhirnya kekhawatiran publik selama ini semakin terbukti, masuknya Firli Bahuri menjadi Pimpinan KPK memiliki agenda khusus untuk meruntuhkan kehormatan lembaga antirasuah itu dari dalam.
Berdasarkan seluruh hal tersebut di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:
- Dalam alih status KPK wajib hukumnya mempedomani putusan MK Nomor: Nomor 70/PUU-XVII/2019 pada [angka. 3.22] hal. 340 yang menyatakan:
…Dalam Peraturan KPK inilah telah ditentukan penghitungan terhadap masa kerja dalam jenjang pangkat sebelum pegawai KPK menjadi ASN (vide Pasal 7 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara). Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK.Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan. - Asesmen tidak dapat digunakan dan bukan instrumen yang dapat dipakai untuk mengangkat atau tidak sebagai aparatur sipil negara.Itu sebabnya, assesmen harus dibedakan antara proses ‘seleksi’ dan ‘asesmen’. SELEKSI adalah pemilihan (untuk mendapatkan yang terbaik) atau penyaringan. Sedangkan ASESMEN adalah proses penilaian, pengumpulan informasi dan data secara komprehensif. Tindakan yang menyesatkan perbedaan antara selesi dan assesmen tidak saja bersifat manipulative tapi juga suatu perbuatan melawan hukum.
- Selain karena adanya putusan MK, muatan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 (PP 41/2020). Sebab, Pasal 4 PP 41/2020 sama sekali tidak menyebutkan tahapan “seleksi” saat dilakukan peralihan kepegawaian
- Sudahi dan STOP segala bentuk tindakan yang ditujukan untuk dan sebagai bagian dari proses pembusukan KPK. Salah satu tindakan dimaksud adalah menyingkirkan SDM KPK yang merupakan pegawai-pegawai yang sudah terbukti rekam jejaknya adalah figur yang memiliki integritas dan komiten tinggi dalam melakukan pemberantasan korupsi.
- Ketua KPK diminta untuk menjalankan kewajiban bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan membuka akses informasi sesuai Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU No. 30 Tahun 2002 jo UU No. 19 Tahun 2019 atas hasil assesmen yang dijadikan penilaian dan kebijakan untuk menyingkirkan pegawai KPK melalui proses litsus;
- Untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas lagi pada KPK dan upaya pemberantasan korupsi maka perlu membentuk Tim Invetigasi yang melibatkan partisipasi publik secara luas guna melakukan melakukan investigasi yang menyeluruh atas dugaan skandal pembebrhentian pegawai KPK;
Koalisi Save KPK
Jakarta, 5 Mei 2021