Kontribusi Batu Bara Masih Signifikan Bagi Negeri ini

213

Untuk mengurangi emisi karbon di udara, pemerintah berencana akan  mulai berhenti mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara pada 2025. PLN  sendiri sudah menghitung PLTU yang akan segera dipensiunkan itu totalnya mampu menghasilkan listrik dengan daya 50,1 gigawatt (GW). Untuk menghasilkan  setrum dengan kekuatan  sebesar itu, dibutuhkan sekitar 200 juta ton batubara.

Artinya jika kebijakan menghentikan operasional PLTU terealisasi, akan ada penurunan demand batubara yang cukup besar di dalam negeri. Padahal cadangan batu bara di Indonesia masih sangat melimpah.

Saat ini saja Indonesia memiliki 37,6 miliar ton batu bara. Dengan total produksi 600 juta ton per tahun, Indonesia masih menyimpan cadangan 24,8 miliar ton untuk 20 tahun ke depan. Menurut Direktur Pengadaan PT PLN Supangkat Iwan Santoso, PLTU berbahan batu bara yang dimiliki PLN diperkirakan masih bisa digunakan dan mampu untuk menerangi Indonesia sampai 300 tahun.

Melihat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017-2026, hingga akhir tahun 2016 kapasitas terpasang PLTU di Indonesia mencapai 28.090 Megawatt (MW). Dalam RUPTL disebutkan bahwa akan ada tambahan PLTU sebesar 31.900 MW dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, PLN bakal kesulitan mengganti pembangkit listrik berwawasan lingkungan. Pasalnya, investasi hijau memerlukan biaya sangat besar. Indonesia memerlukan biaya Rp 3.461 triliun hingga tahun 2030. Transisi ini, kata Sri Mulyani, tidak mudah bagi PLN yang menjadi perusahaan monopoli di bidang kelistrikan di Indonesia.

Sebagai negara berkembang Indonesia masih terus berjuang untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonominya. Apalagi di saat pandemi seperti saat ini, ekonomi tidak tumbuh alias negatif. Butuh banyak tenaga untuk mendorong ekonomi agar segara tumbuh positif kembali.

Berita Lainnya  Komitmen Belanja PDN Capai Lebih dari Rp 994 Triliun

Pertumbuhan ekonomi membutuhkan energi yang cukup besar. Oleh sebab itu, sebenarnya batubara sebagai pembangkit energi listrik masih akan tetap dibutuhkan. Di negara-negara lain kondisinya juga hampir sama dengan Indonesia, bahkan banyak yang lebih susah.

Pemerintah masih perlu memberi perhatian lebih pada pasokan batu bara. Salah satu cara yang harus didahulukan tentu fasilitas infrastruktur demi memperkuat kebutuhan distribusi batubara untuk keperluan domestik maupun ekspor.

Faktanya batu bara masih memiliki kontribusi signifikan bagi negeri ini. Itu bisa dilihat dari penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara hingga devisa yang dihasilkan untuk Indonesia, masih sangat tinggi. 

Setiap tahunnya total penerimaan negara dari aktivitas tambang batu bara sekitar Rp50 triliun.  Salah satu penerimaan negara terbesar berasal dari penerimaan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) batu bara. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), melaporkan PNBP dari batu bara sepanjang 2020 mencapai Rp 34,6 triliun. Jumlah tersebut melebihi dari target yang ditetapkan Rp 31,41 triliun (110 %).

Belum lagi jutaan tenaga kerja yang mampu terserap oleh sektor tambang batu bara. Bisa dibayangkan dampak yang akan terjadi bagi ekonomi Indonesia, jika produksi batu bara tidak terserap ke sektor energi.

Menurut Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) saat ini industri batu bara masih menghadapi kendala infrastruktur jalan dan pelabuhan yang membuat produksi bahan tambang itu tidak efisien.

Contohnya saja di Sumatera sebagai salah satu pulau dengan potensi batu bara terbesar di Indonesia. Sumber daya batu bara di Sumatera, hingga kini belum tergarap optimal karena hambatan infrastruktur sehingga menyebabkan biaya produksi menjadi cukup tinggi.

Berita Lainnya  Pasar Modal Berpeluang Danai Proyek Infrastruktur

Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan pengelola batu bara di Sumatera Selatan (Sumsel) membutuhkan waktu tiga hari untuk mengantarkan produknya ke pelabuhan.  Maklum jarak yang harus ditempuh mencapai ratusan kilometer. Jalan yang harus dilalui terlalu sempit dan kondisinya sangat buruk.

Padahal jika infrastruktur dibenahi jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mengantarkan batu bara maupun hasil bumi lainnnya, seperti kelapa sawit akan tuntas dalam hitungan jam. Jika pembangunan jalan terwujud, kapasitas pengiriman batu bara diperhitungkan bisa meningkat tiga kali lipat dari kapasitas pengiriman saat ini. Dengan demikian permintaan dari negara eksportir seperti Cina dan India yang saban tahun selalu meningkat lebih mudah terpenuhi.

Persoalan ini sudah terjadi sejak 2011 lalu. Terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Selatan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang dilanjutkan dengan Surat Edaran Gubernur mengenai pelarangan angkutan batu bara melintas di jalan umum mulai 1 Januari 2013 yang menyebabkan saat itu banyak perusahaan batu bara berhenti beroperasi.

Jalan khusus yang disiapkan untuk transportasi batu bara ternyata tidak dapat dilewati. Akibatnya, saat itu, ratusan perusahaan pertambangan batu bara mengalami kerugian miliaran rupiah. Tentunya bila hal ini tidak mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan akan membuat batu bara menjadi harta karun yang terbuang sia-sia.